Selasa, 18 Agustus 2009

Makalah Komunikasi Politik

1. Latar Belakang
Jenderal TNI Purnawirawan Soeharto lahir di Desa Kemusu, Godean, Yogyakarta, pada tanggal 8 Juni 1921.
Pak Harto menikah dengan Siti Hartinah pada tanggal 26 Desember 1947, di Solo. Pasangan ini dikarunia tiga orang putera dan tiga orang puteri.
Pendidikan umum yang pernah ditempuh Pak Harto adalah Sekolah Dasar (Ongko Loro), di Kemusu (1929-1939), Sekolah Rakyat di Wuryantoro (1931-1935), SMP di Yogyakarta (1935-1939), dan SMA (C) di Semarang (1956). Sedangkan, pendidikan militer yang pernah ditempuh Pak Harto adalah Pendidikan Dasar Militer KNIL (1940), Sekolah Kader Kopral (1940), Sekolah Kader Sersan (1941), Sekolah Perwira untuk Tjudancho (1944), dan Kursus c-II (1956).
Riwayat pekerjaan dan jabatan Pak Harto begitu panjang. Bahkan Pak Harto pernah memulai pekerjaan sebagai pembantu klerk bank desa di Wuryantoro tahun 1940. Karier Pak Harto sebagai militer dimulai ketika beliau memasuki Sekolah Dasar Militer (1940), Sekolah Kader Kopral (1940), Sekolah Kader Sersan (1941), Anggota Kepolisian di Yogyakarta (1942), Shodancho PETA (1943), Tjudancho PETA (1944). Selama tahun 1945-1950 Pak Harto terlibat secara langsung dalam perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Selama kurun waktu tersebut beliau memegang jabatan sebagai Komandan Kompi, Komandan Batalyon, Komandan Brigade, Komandan WK (Wehr Kreise), Yogyakarta. Pada tahun 1950 Pak Harto menjabat sebagai Komandan Brigade Mataram (sekaligus pernah ditugaskan memadamkan pemberontakan Andi Aziz di Makasar pada tahun yang sama). Kemudian beliau menjabat Komandan Brigade Pragola, Solo (1951-1953), Komandan Resimen 15 (9153-1956). Pada tahun 1956 Pak Harto menjabat sebagai Perwira Menengah yang diperbantukan Kastaf untuk mengikuti Planning SUAD. Kemudian Pak Harto ditunjuk untuk menjabat sebagai Kepala Staf Teritorial IV, Semarang (1956-1959). Jabatan selanjutnya adalah Pejabat Panglima Teritorial IV/Pang. Terr. IV, Semarang (1956-1959) sekaligus merangkap sebagai Dewan Kurator AMN (1957-1959), Deputy I Kasad (1960-1961), Deputy I Kasad merangkap Ketua Adhoc Retolong Depad, merangkap Panglima Korps Tentara I Tjaduad, merangkap Panglima Konud AD (1961), Panglima Mandala (1962-1963) merangkap DEJANID (1962), Panglima KOSTRAD (1963-1965), Menteri Pangad/Kastaf KOTI (1966). Melalui Surat Perintah Sebelas Meret (Supersemar) 1966 Pak Harto ditunjuk sebagai pengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin ketenangan dan kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi. Pada tanggal 27 Maret 1966 Pak Harto selain masih menjabat sebagai Menteri ad interim Hankam, kamudian menjabat sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera, menteri Utama Hankam, merangkap Kastaf KOTI dan menteri Panglima AD pada tanggal 1 Juli 1966. pada tanggal 22 Juli 1966 Pak HArto dipercaya menjabat Presiden RI periode 1968-1973. Pada pemilihan umum kemudian Pak Harto kembali dipercaya rakyat untuk memimpin bangsa, sebagai Presiden RI (1973-1978), kemudian terpilih kembali sebagai Presiden RI (1978-1983), terpilih kembali sebagai Presiden RI (1983-1988), terpilih kembali sebagai Presiden RI (1988-1993), dan terpilih kembali sebagai Presiden RI (1993-1998).
Diluar itu ada beberapa jabatan berskala internasional yang pernah dipegang Pak Harto, antara lain pernah menjadi Ketua Gerakan Non-Blok (1992), dan menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan para Kepala-kepala Negara anggota APEC (1995).
Pada saat Pak Harto menjabat sebagai Presiden RI, ia juga aktif dalam beberapa yayasan sosial, antara lain Yayasan Harapan Kita, Dharmais, Trikora, Supersemar, Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dakrab, Dana Sejahtera Mandiri. Pada yayasan tersebut Pak Harto duduk sebagai Ketua. Sementara di Yayasan Purna Bhakti Pertiei Pak Harto duduk sebagai pelindung.



Autobiografi
Berdasarkan hubungan kerja keseharian Pak Harto, digambarkan sosok Pak Harto antara lain sebagai pribadi yang :
• Mampu memadukan karakter jenderal dan manajer puncak.
• Menjalankan falsafah kepemimpinan Hasta Brata.
• Menerapkan 11 Asas Kepemimpinan yang mencakup kualitas kepemimpinan
sekaligus kualitas manajer.
• Penuh sikap kekeluargaan dan memiliki sifat kebapakan
• Bersifat terbuka dan transfaran.
• Bersamangat ilmu padi dan selalu nguwongke orang lain.
• Berorientasi pada kepentingan rakyat, tidak terkecuali dipedesaan.
• Bersemangat memberdayaan dan mengembangkan SDM.
• Berlandaskan konstitusi, namun tetap fleksibel dan dinamis.
• Berakar kuat pada budaya bangsa.
• Visioner, berintuisi tajam, sekaligus mempunyai informasi yang luar biasa.
• Berani bertindak tegas kendati mengandung risiko tidak popular.
• Mengedepankan cara-cara yang demokratis.
• Menguasai permasalahan sampai detil.
• Memberikan delegasi dan kepercayaan penuh kepada staf.
• Memiliki kebersahajaan dan kesabaran yang luar biasa tapi sangat kreatif alias
“banyak akal.”







2. Permasalahan
Manajemen Presiden Soeharto
1. Karakteristik sebagai pemimpin
Dengan perilaku dam sikap yang senantiasa positif, dengan kemampuannya untuk mempelajari dan menguasai suatu ilmu, serta kemahirannya untuk mengubah ilmu yang dipelajari menjadi kerampilannya/keahliannya yang berguna (convert knowledge into useful skill), kepemimpinan Pak Harto tidak salah dikategorikan sebagai phenomenal. Beliau adalah professional sejati yang mencintai profesinya.
Sebagai seorang pemimpin, Pak Harto tidak masuk dalam kategori “pemimpin alami” (natural leader), melainkan “pemimpin professional” (professional leader). Seorang pemimpin alami bisa saja sangat memperhatikan dan mencintai rakyatnya, tapi ia tidak bisa menerima pandangan-pandangan komplementer dari orang lain, apalagi masukan kritis. Contoh klasiknya dalam manajemen ialah Henry Ford. Soal warna mobil saja misalnya, kepada anggota dewan direksinya ia menegaskan bahwa “you can have any color you wish as long as it is back.”
Salah satu cirri paling menonjol dari seorang pemimpin professional ialah tidak merasa hebat sendiri. Ia memilih kemauan dan keikhlasan untuk mendengarkan dan menyerap informasi dari manapun sumbernya, lalu mengolah dan mendesiminasikannya dengan arif kepada orang lain. Pada saat yang bersamaan ia pun lalu bekerjasama dengan orang lain untuk mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Karena itu pemimpin professional seperti Pak Harto pastilah amat berkepentingan agar orang lain maupun bawahannya juga maju dan berkembang. Mengapa? Sebab informasi dan masukan-masukan dari mereka juga makin berkualitas, sehingga pada akhirnya antara pemimpin dan yang dipimpin dapat terjalin hubungan kemitraan yang sinergistik persis seperti yang didambakan Pak Harto.

Karena Pak Harto adalah pemimpin professional, baliau juga mampu memimpin dimana saja, dan dalam lingkungan yang bagaimanapun. Beliau memiliki kualitas kepemimpinan dalam gerakan Non-Blok dan peranan beliau dalam organisasi ASEAN dan APEC. Demikian juga kemampuan antisipasinya pada perubahan, proses pembelajarannya, serta keikhlasan dan kesungguhannya untuk memajukan orang lain.
Karakteristik kepemimpinan dan manajerial yang berlaku universal di atas lalu diperkuat dengan kejujuran atau integritas professional serta ketaqwaan. Itulah sebabnya dalam penuturan para penulis, terbentang benang merah yang menyatakan bahwa Presiden Soeharto adalah pemimpin yang serba lengkap. Dalam istilah Warren Bennis, penulis buku visionary Leadership, Pak Harto dapat diistilahkan sebagai a complete leader alias pemimpin yang paripurna.

2. Proses prngambilan keputusan
Tugas dan tanggung jawab paling krusial dan merupakan porsi terbesar (dari perspektif kualitas dan dampak bagi seorang pemimpin puncak) ialah pengambilan keputusan. Banyak orang yang takut mengambil keputusan karena mengandung resiko salah dan disalahkan orang, kalau-kalau keputusannya keliru. Maka tidak jarang seorang manajer mengelak dari tugas tersebut, lalu mendelegasikannya ke atas. Istilah populernya ialah upward delegation. Pengambilan keputusan memang mensyaratkan seseorang untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi secara mendetail (attention to detail). Negara-negara Indonesia dengan latar belakang budaya, agama dan mengambil keputusan yang relative lebih pas dan tepat (bagi keunikan bangsa Indonesia sendiri). Walaupun belum tentu yang “pas dan tepat” tersebut sekaligus lebih baik menurut perasaan orang atau bangsa lain.
Karena penguasaannya terhadap pembangungan sampai pada aspek-aspeknya yang detil, maka dari sudut pengambilan keputusan, Pak Harto termasuk dalam cetakan “a hands on manager” , salah satu kriteria universal dari manajer yang efektif sebagaimana ditulis Tom Peters dalam buku yang menjadi best seller, In Search of Excellence.
Pengambilan keputusan juga mensyaratkan (bahkan memaksa) seseorang untuk melakukan analisis yang tajam dan akurat. Untuk itu diperlukan kemampuan berfikir secara intensif dan kreatif.

3. Proses Perencanaan dan Pengendalian
Perencanaan yang benar akan memudahkan berjalannya fungsi pengendalian. Kalau perencanaan kurang mencerminkan realita, maka proses pengendalian juga tidak akan memberikan kontribusi yang positif.
Mekanisme perencanaan yang diturunkan dari suatu visi, katakanlah PJP, kemudian didesain lewat Repelita dan jabaran tahunannya dalam APBN, rasanya sudah tepat. Pelaksanaan mekanisme tersebut secara konsisten terbukti telah mambuahkan kisah-sukses pembangunan, baik yang tangible maupun yang tidak kalah pentungnya adalah hasil yang sifatnya intangible seperti rasa persatuan dan kesatuan, citra bangsa, dan sebagainya.
Yang patut digali lebih dalam lagi ialah bagaimana secara efektif Pak Harto melakukan pengendalian, yang sebenarnya sudah jauh di atas rentang kendali yang wajar. Padahal yang dimanajemeni adalah organisasi dengan 38 Departemen (termasuk departemen koordinasi) yang langsung dibawah beliau, serta kedudukan konstitusional beliau sebagai Panglima Tertinggi. Belum lagi hubungan institusi Kepresidenan dengan lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara lain, serta hubungan-hubungan internasional. Pak Harto pun masih harus memperhatikan yayasan dan lembaga-lembaga non-pemerintah, yang kesemuanya mutlak perlu dimanajemeni secara efektif.




4. Pengorganisasian
Penuturan dan pengamatan menunjukkan bahwa, organisasi pemerintahan yang dikembangkan Pak Harto lebih cenderung berbentuk matriks. Hal ini agak mirip dengan struktur organisasi badan-badan usaha raksasa multinasional dan multicore (konglomerasi). Pada “kasus” raksasa multinasional, manajemen usahanya lebih berpola regional (pengelompokan tugas secara regional), yang memungkinkan pembagian satuan-satuan unit organisasi dalam jumlah yang masih dalam batas-batas span of control yang wajar (managable). Rentang kendali pucuk pimpinannya masih dapat dibatasi misalnya hingga 7 sampai 10 organisasi, termasuk pengelolaan fungsional dan sektornya. Namun sekarang, dinamisme dunia usaha yang mengglobal memperlihatkan makin menguatnya trend desentralisasi, sehingga system matriks mulai dipertanyakn efektivitasnya.
Dari perspektif manajemen, struktur organisasi dianggap amat penting, karena ia adalah infrastruktur yang paling representative untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Itu sebabnya tidak jarang struktur harus segera dirangcang ulang, dirombak bahkan dirubah, jika target strategis atau prioritas sasarannya berubah. Karena itu struktur formal harus jelas dan transfaran, agar selain dapat difungsikan secara efisien dan efektif, juga dapat ditemukenali dengan cepat bottle-necknya kalau ada.
Dalam aspek pengorganisasian ini, diperlukan penelaahan dan penelitian yang benar-benar cermat. Merujuk pada pakar administrasi public, David Osborne, dalam bukunya Reinventing the Government, system pengorganisasian pemerintah kita perlu disempurnakan, jika dihadapkan pada kebutuhan untuk mengolola perubahan dalam konteks global.
Kalau tidak keliru, semenjak permulaan Orde Baru sampai sekarang, belum pernah terjadi perubahan system pengorganisasian yang signifikan dalam organisasi kepemerintahan. Padahal lingkungan strategis sudah berubah secara structural dan substansial. Idealnya, restrukturisasi (untuk tujuan-tujuan efisiensi dan daya saing bangsa) tidak terjadi hanya di tingkat makro-nasional, tetapi juga pada tingkat mikro-departemental. Kalau tidak dapat dilakukan secara serentak, barangkali dapat dimulai pada bagian-bagian yang amat strategis seperti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam konteks kebutuhan memprioritaskan pembangunan SDM. Restrukturisasi pada umumnya membawa konsekuensi tentang perlunya pengalokasian kembali (reallocation) daripada sumber-sumber daya yang terbatas. Namun, untuk membangun SDM yang berkualitas dunia (tidak lagi sekedar lokal) pastilah membutuhkan peningkatan dunia investasi secara proporsional pula. Dan ini tidak otomatis seluruhnya dari anggaran pemerintah.
5. Pemilihan Personel, delegasi dan Pembagian Tugas
Pada umumnya, pemikir manajemen sepakat bahwa aspek manajemen SDM yang paling krusial dan strategis ialah selection of people, khususny dalam pemilihanpersonel atas dasar criteria professional. Kalau temuan James M. Kouzes dan Barry Z. Posner, penulis buku Credibility, diacu maka yang mula-mula harus dicermati adalah aspek kejujuran. Menurut kedua pakar kepemimpinan tersebut, dari 20 karakteristik yang umumnya dimiliki oleh admired leaders, empat tertinggi ialah honest, forward-looking, inspiring, dan competence.
Apalagi mangingat bahwa proses manajemen tidak mungkin dapat berjalan tanpa adanya pendelegasian dan pembagian tugas. Pak Harto pun tidak mungkin dapat menghasilkan karya-karya prestatif, baik yang berwujud (tangible assets) maupun yang tidak berwujud (intangible assets) seandainya beliau tidak melakukan pendelegasian dan pembagian tugas di antara para pembantunya. Kunci sukses disini adalah pemilihan orang yang tepat. You are only as good as your people, demikian salah satu pelajaran kepemimpinan yang kita terima dari ilmu manajemen.
Dengan teknik “Bowo Roso”-nya, Pak Harto memilih para pembantunya dengan didasari kepercayaan dan teamwork. Proses pemilihan yang dilandasi kepercayaan sebenarnya tidak berbeda dengan teori Learning Organization, sebagaimana diungkap Peter Senge dalam bukunya, The Fifth Discipline. Senge mengatakan bahwa untuk menciptakan karya yang kompetitif dibutuhkan teamwork. Sedangkan teamwork membutuhkan para pemain yang saling percaya, disamping sama-sama memiliki tingkat kompetensi dan gelombang piker yang seirama (the same wave length).
6. Penguasaan dan Pemanfaatan Informasi
Pak Soeharto sangat pandai mencari informasi hingga hamper mencapai kondisi “perfect information”, sebuah kondisi ideal untuk dapat mengambil keputusan yang benar dan tepat. Yang tidak terungkap adalah “teknologi” apa yang dipergunakan Pak Harto dalam mencari informasi. Kalaupuninformasi sudah lengkap, tampaknya Pak Harto masih menggunakan judgement and feeling yang sangat tajam; mungkin karena “bowo roso” benar-benar telah bersenyawa dalam diri beliau. Inikah yang disebut indera ke-enam atau sixth sense? Tentunya hal ini sulit untuk dipelajari melalui system pendidikan konvensional, kecuali beliau sendiri yang mengajarkan. Namun yang perlu ditedani adalah penguasaan informasi ini, seperti yang setiap kali dipraktekkan Pak Harto. Dalam dunia yang mengglobal ini informasi sudah menjadi kebutuhan pokok, bukan lagi barang mewah.
7. Kecintaan terhadap Profesi
Para professional yang mencintai profesinya akan menemukan kebahagiaan tersendiri dalam lingkungan dan proses berkaryanya. Itulah sebabnya dalam praktek manajemen modern sering terjadi pergantian jabatan. Mereka yang tidak memiliki tingkat kompetensi yang dibutuhkan dalam satuan-satuan manajemen yang bergerak dinamis, pasti setiap kali akan merasa tertekan dan bahkan menderita. Artinya mereka tak mungkin mencintai pekerjaannya jika tingkat atau jenis kompetensinya tidak pas dengan kebutuhan lingkup satuan manajemennya.
Pak Soeharto tidak mungkin memanajemeni secara efektif kompleksitas organisasi pemerintahan tanpa dilandasi oleh kecintaan dan dedikasi pada pekerjaannya.
8. Kesenjangan Kompetensi
Mekanisme manajemen yang efisien senantiasa tercermin dari adanya keserasian antara pemimpin, bawahan dan kolega-koleganya. Dan itu baru bisa terjadi jika kesenjangan kompetensi tidak ada. Tapi, kalau competence gap begitu jauh dan dalam, maka ibarat kereta yang ditarik empat ekor kuda, kecepatannya justru ditentukan oleh kuda yang paling lamban. Ini berarti jika derajat kesenjangan kompetensi cukup jauh, maka operasionalisasi manajemen pastilah tidak efisien. Itu sebabnya seorang pemimpin haris pandai-pandai memanage kesenjangan tersebut, karena sedikit banyak, gap tersebut selalu saja ada. Dalam hal inilah kualitas management leader layak ditampilkan.
Pak Harto pun seorang management leader, karena beliau mampu memberi bobot yang berperimbangan secara dinamis antara leadership dan operasionalisasi manajemen. Kapan persisnya harus mengedepankan sentuhan leadership dan kapan pula kekuatan manajemen didahulukan, tentunya merupakan seni tersendiri pula, yang juga telah dan terus diperagakan Pak Harto. Beliau misalnya sangat menekankan pentingnya harmonisasi dalam proses sosial. Dan, tampaknya falsafah atau pendekatan harmonisasi ini lebih efektif menjamin keseimbangan dan kerukunan hidup (dalam arti luas dan menyeluruh).
9. strategi komandan
Sebagai tentara yang mengalami tiga jaman, tentu strategi yang dijalankan Soeharto selama berkuasa adalah strategi militer. Selama 32 Tahun pemerintahan rezim soeharto mengalami 3 fase yaitu 1) tumbuh, 2) berkembang/jaya, dan 3) mati. Di massa pemerintahan soeharto berdasarkan asumsi di atas dapat di bagi tiga periode yang masing-masingnya satu decade. Angka tahunnya perlu diteliti lagi, agar alas an pemilihannya dapat dipertanggungjawabkan. Intinya adalah dekade pertama ialah masa pertumbuhan, dasawarsa, kedua masa perkembangan, dan babak terakhir adalah masa kejayaan dan kejatuhan.
Dalam periode pertama, masuk akal bila dikatakan bahwa strategi soeharto terutama dilandasi ajaran jawa nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Pada dasawarsa berikutnya setelah kekuasaan makin terpusat ditangannya, ia cenderung menerapkan Tutwuri Handayani. Pada babak terakhir setelah sampai di puncak kekuasaan, ketika ia pun mulai sangsi akan dirinya, maka dijalankan waspada purba wisesa.
10. Pelaksanaan kekuasaan
UUD 45 mnemberikan kekuasaan yang besar kepada presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Ismail Suny membagi kekuasaaan presiden RI berdasarkan UUD 45 menjadi; kekuasaan administrative: kekuasaan legislative; kekuasaan yudikatif; kekuasaaan militer; kekuasaaan diplomatic; dan kekuasaan darurat. Sedangkan H.M Ridwan Indra dan Satya Arinanto memebaginya kedalam; kekuasaan dalam bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislative, kekuasaaaan sebagai kepala Negara, dan kekuasaan dalam bidang yudikatif. Kekuasaan presiden yang luas tersebut tercakup dalam fungsinya sebagai kepala Negara, kepala pemerintahan dan sekaligus mandataris MPR.
Secara konstutional, orde baru didukung oleh UUD 45. orde baru dan para pendukungnya, terutama angkatan darat, kemudian berhasil menempatkan pusat kekuasaaan pengambilan keputusan kebijakan public pada birokrasi yang secara langsung di komandoi oleh Presiden Soeharto. Sekurang-kurangnya ada lima kekuasaan presiden yang tercatat dalam hokum positif Indonesia, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala Negara, kekuassaan legislative, kekuasaan yudikatif, serta kekuasqaan militer dan darurat. Dalam praktek politik dan ketatanegaraan selama masa orde baru, implementasi dari kekuasaan-kekuasaan tersebut menjadi instrument yang efektif untuk mengintervensi dan mengeliminasi peran lembaga-lembaga Negara lain dalam menyelenggarakan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan.
Kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden, atau biasa disebut dengan kekuasaan eksekutive, merupakan konsekuensi dianutnya system pemerintahan presidensil oleh UUD45, sebagaimana dituangkan dalam pasal 4 ayat (1) UUD 1945. kewenangan membentuk keputusan presiden (keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden.
Kekuasaan sebagai kepala Negara adlah kekuasaan yang bersifat administrative. Selama pemerintahan orde baru, kewenangan yang hanya bersifat administrative ini cukup berpengaruh terhadap jalanya praktek politik dan kenegaraan di Indonesia. Pengangkatan hakim-hakim, anggota-anggota MPR dan DPR, serta jabatan-jabatan penting lainnya, merupakan ajang seleksi politik bagi orang-orang yang akan memasuki pwilayah kekuasaan Negara. Kekuasaan legislative, kekuasaan yudikatif serta kekuasaan militer dan darurat, merupakan tambahan dari kekuasaaan presiden yang konvensional.
Untuk menghindari terulangnya keadaan di masa orde lama, orde baru secara sistematis berusaha memusatkan kekuasaan dengan melemahkan institusi-institusi yang seharusnya dapat menjadi lembaga control yang mengimbangi kekuasaan presidenyang dominant.institusi-institusi tersebut hampir merupakan seluruh bagian dari system kenegaraan di Indonesia.
Kedudukan birokrasi yang dominant ini didukung oleh unsure-unsur yang merupakan sumber kekuasaannya, yaitu kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian teknis dan status social yang tinggi. Selama masa kepemimpinan Soeharto, Unsur-Unsur inilah yang kemudian menjadikan rezim yang dipimpinnya hampir steril dari control lembaga lain, dan justru menjadi dasar bagi fungsi pengendalian atas masyarakat.
Jadi cukup jelas sebenarnya, kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945 selam masa keberlakuanya, cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan presiden ini kemudian hanya menjadi instrument untuk mencapai tujuan-tujuan penelitian golongan tertentu yang pragmati sifatnya dan secara empiris selalu melebarkan, atau paling tidak mengeliminasi, kepentingan demokratisasi di Indonesia.

Oleh : Adityo nugroho

Tidak ada komentar: